Berita

Berita

Tiga Persoalan Integrasi Stasiun MRT yang Belum seperti di Luar Negeri

06 April 2019

JAKARTA, KOMPAS.com – Berbagai pihak menyambut positif pengoperasian moda raya terpadu ( MRT) Jakarta yang telah dimulai secara komersial sejak Senin (1/4/2019). Tak sedikit yang bangga menyejajarkan MRT Jakarta dengan MRT di luar negeri.

 

Namun, MRT Jakarta masih memiliki PR dalam hal integrasi dengan akses pendukung. Persoalan integrasi dinilai menjadi pembeda antara MRT Jakarta dengan kota-kota di luar negeri. Berikut tiga persoalan integrasi dengan stasiun MRT yang perlu dibenahi.

 

1. Moda Transportasi

Pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Darmaningtyas menyebut akses menuju dan dari stasiun-stasiun MRT ke titik-titik lain mesti ditata agar tercipta integrasi yang nyaman bagi penumpang. Menurut dia, integrasi dengan bus transjakarta maupun angkot masih sangat minim. “Sekarang naik dan turunnya jadi tidak begitu nyaman,” ujar Darmaningtyas melalui sambungan telepon pada Kamis (4/4/2019).

 

Ia mengatakan, adanya angkot JakLingko merupakan integrasi yang baik. Namun, JakLingko baru terintegrasi dengan satu stasiun MRT, yakni Stasiun Lebak Bulus, Jakarta Selatan. “Padahal, sudah ada juga JakLingko. Ini mestinya ditata," lanjut dia.

 

Segelintir stasiun MRT lain pun disinggahi oleh transjakarta, seperti Stasiun Bundaran HI, Senayan, dan Istora, tetapi belum terintegrasi dalam sistem bundling fee JakLingko sehingga penumpang perlu membayar dua kali. Hal ini juga disampaikan oleh Amalia (22) yang sempat beberapa kali menumpang MRT di Singapura. Ia menuturkan, salah satu perbedaan mendasar antara Jakarta dan Singapura terletak pada akses yang lebih susah.

 

“Kalau di Singapura, habis turun MRT langsung bisa dapat bus buat lanjut perjalanan,” terangnya. Integrasi semacam ini, lanjut Amalia, diperlukan supaya biaya perjalanan bisa lebih efisien. “Kalau enggak melanjutkan perjalanan naik bus, enggak butuh banyak waktu juga buat sampai ke tujuan karena ke mana-mana tinggal jalan kaki,” pungkasnya.

 

Parkir liar menghalangi jalur khusus disabilitas di kolong Stasiun MRT Haji Nawi, Jakarta Selatan, pada Kamis (4/4/2019).(KOMPAS.com / VITORIO MANTALEAN)

 

2. Jalur Pedestrian

Trotoar bagi pejalan kaki tergolong penting bagi para penumpang MRT yang hendak melanjutkan perjalanan ke titik terdekat. Akan tetapi, belum semua stasiun MRT tersambung dengan jalur pedestrian yang ramah pejalan kaki. Hal ini turut dikeluhkan Abdurrahman (25) yang pernah menjajal sistem MRT di China beberapa waktu silam. “Kalau di sini kan, habis turun MRT masih perlu naik ojol (ojek online). Mau jalan kaki, tapi trotoar yang lebar-lebar dan nyaman paling hanya di sekitar HI (Hotel Indonesia) atau Senayan, kan,” ujarnya.

 

Ia mencontohkan, jalur pedestrian di Stasiun Lebak Bulus yang terkesan seadanya. “Selama jalan menuju stasiun (Lebak Bulus) tidak ada kanopi atau pohon,” katanya. Sejumlah warga yang ditemui Kompas.com di sekitar Stasiun MRT Lebak Bulus juga mengungkapkan keluhan serupa, terutama soal jalur pedestrian menuju lahan parkir Park and Ride yang minim penerangan serta kanopi. Untuk mengatasinya, Darmaningtyas menganggap perlu ketersediaan shuttle bus dari dan menuju Stasiun Lebak Bulus.

 

Lahan park and ride di Lebak Bulus dipenuhi genangan berlumpur usai diguyur hujan pada Senin (1/4/2019) malam.(KOMPAS.com / VITORIO MANTALEAN)

 

3. Lahan Parkir

Keberadaan lahan parkir di sekitar stasiun MRT hingga saat ini baru tersedia di dua titik, yakni Stasiun Fatmawati dan Lebak Bulus. Sementara lahan park and ride di Stasiun Fatmawati masih agak sepi, dan di Stasiun Lebak Bulus terpantau cukup ramai. Akan tetapi, lahan parkir ini terpaut cukup jauh, sekitar 300 meter dari stasiun. Sudah begitu, fasilitas yang tersedia pun minim. Lahan parkir belum diaspal, berkanopi, maupun dilengkapi penerangan yang cukup. Di luar itu, praktis para pemilik kendaraan pribadi yang hendak naik MRT perlu memutar otak untuk mencari lahan parkir.

 

“Lebih susah lagi buat pengguna mobil pribadi yang ingin lanjut naik MRT,” tutur Darmaningtyas. Hal ini berpotensi mencuatkan aktivitas parkir liar di sekitar stasiun MRT. Di kolong Stasiun MRT Haji Nawi, misalnya, aktivitas parkir liar terpantau mengokupasi jalur khusus disabilitas karena sejumlah mobil parkir berderet di atas trotoar pada Kamis (4/4/2019). Padahal, jalur ini langsung mengarah ke eskalator dan lift yang diprioritaskan bagi penyandang disabilitas.

 

Seorang petugas parkir yang enggan disebutkan namanya menyebut bahwa area tersebut telah dipakai untuk parkir kendaraan sejak lama. Ia mengatakan, tarif parkir mobil ditetapkan Rp 5.000, sedangkan tarif parkir motor Rp 3.000. "Ramai dari tadi pagi. Nanti sampai Magrib baru longgar," ujarnya. Mengenai boleh atau tidaknya, ia menjamin jika kendaraan akan aman di tangannya. Sementara itu, Susanto, seorang petugas keamanan Stasiun MRT Haji Nawi mengatakan, aktivitas parkir tidak diperbolehkan menghalangi jalur khusus disabilitas.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "3 Persoalan Integrasi Stasiun MRT yang Belum seperti di Luar Negeri", https://megapolitan.kompas.com/read/2019/04/06/06400091/3-persoalan-integrasi-stasiun-mrt-yang-belum-seperti-di-luar-negeri?page=all
Penulis : Vitorio Mantalean
Editor : Dian Maharani



Berita Lainnya