Berita
MRT Jakarta Beroperasi, Ini Dia Sumber Pendapatannya
23 Oktober 2018MRT Jakarta Beroperasi, Ini Dia Sumber Pendapatannya
Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang jasa layanan transportasi khususnya angkutan penumpang, PT MRT Jakarta juga berupaya mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya yang berpeluang untuk bisa menghasilkan pendapatan dari tiket maupun non tiket.
Berbagai persiapan dilakukan oleh PT MRT Jakarta jelang beberapa bulan lagi beroperasi secara komersial. Data per 30 September 2018 lalu, pekerjaan Depo dan bagian layang (elevated) telah mencapai 95,36 %, sedangkan pekerjaan bagian bawah tanah (underground) sudah mencapai 97,71 %. Keseluruhan progress pekerjaan konstruksi fase 1 koridor selatan-utara (Lebak Bulus-Bundaran HI) sudah mencapai 96,54%.
Pendapatan Tiket
Sebelum beroperasi pada Maret 2019, PT MRT Jakarta sudah mengajukan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait usulan tarif MRT Jakarta. Ada dua opsi usulan tarif yang diajukan dan sampai saat ini masih dalam proses pembahasan oleh Tim Perumusan Tarif yang ditugaskan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. PT MRT Jakarta optimis, tarif dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan keluar sebelum MRT Jakarta beroperasi secara komersial.
“Penentuan tarif adalah hak dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, namun MRT Jakarta bisa mengusulkan nominal berdasarkan hasil analisis/perhitungan. Nantinya, kita akan memakai skema tarif berbasis jarak pengguna. Sudah diajukan, tinggal menunggu keputusan,” kata Agung Wicaksono, Direktur Operasi dan Pemeliharaan PT MRT Jakarta pada peserta Fellowship Jurnalis MRT Jakarta, (17/10/2018).
Apa yang melandasi diajukannya dua opsi tarif MRT Jakarta? Agung menjelaskan bahwasanya perhitungan tarif yang dibuat oleh PT MRT Jakarta untuk diusulkan mengacu pada hasil Survei Ridership terhadap kemauan untuk membayar (willingness to pay) untuk perjalanan rata-rata 10 km. Hasil survei kemudian disusun sebagai usulan tarif kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Perhitungan tarif MRT Jakarta mirip seperti perhitungan tarif KRL Commuter Line. Kalau tarif Commuter Line dihitung berdasarkan biaya boarding fee ditambah kelipatan jumlah stasiun yang dilalui (Rp), sedangkan tarif MRT Jakarta perhitungannya biaya boarding fee ditambah unit price per kilometer (Rp).
MRT Jakarta mengusulkan tarif dengan menggunakan skema biaya per kilometer, dengan based perhitungan tarif dengan jarak tempuh rata-rata 10 km/trip sebesar Rp 8.500,- dan Rp 10.000,-. Cara penghitungannya, tarif sama dengan boarding fee (Rp) ditambah unit price per kilometer (Rp/km). Opsi pertama yang diajukan yaitu Rp 1500 + Rp 700/ km dan opsi kedua besarannya Rp 1500 + Rp 850/ km.
Pendapatan Non Tiket
Selain memperoleh pendapatan dari hasil bisnis utama jasa pelayanan mengangkut penumpang berupa penjualan tiket MRT, PT MRT Jakarta yang notabene BUMD (badan usaha milik daerah) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini juga diberikan kewenangan untuk pengembangan usaha. Pengembangan usaha ini bertujuan agar sisi finansial perusahaan tidak rugi. Sebab PT MRT Jakarta yang secara usia sudah menginjak usia ke-10 namun baru akan memulai kegiatan bisnis jasa pelayanan angkutan penumpang pada bulan Maret 2019 sehingga secara kalkulasi pendapatan dari core business penjualan tiket masih belum bisa untuk menutup biaya operasional, perawatan dan lainnya.
Lalu bisnis baru non-fare box business apa saja yang dipersiapkan sebagai sumber pendapatan agar bisa menghidupi perusahaan? Agung menjelaskan ada empat bisnis non-tiket yang akan dijalankan oleh PT MRT Jakarta, yaitu : retail, iklan, telekomunikasi, dan properti.
“Bisnis harus dilihat bukan hanya apa yang ada di depannya, namun apa yang ada di masa depan. Dalam hal ini, MRT Jakarta tidak bisa hanya mengandalkan pemasukan dari tiket kereta saja,” lanjut Agung.
Space Untuk Retail
Dengan keterbatasan ruang councorse stasiun, baik yang stasiun layang maupun stasiun bawah tanah, PT MRT Jakarta harus mendesain penataan ruang yang ada agar bisa dioptimalkan untuk mendapatkan pemasukan, melalui penyewaan ruang (space) di area tertentu untuk retail. Dan animo perusahaan besar untuk bisnis penjualan produk di stasiun pun sangat besar antusiasnya. Dari hasil pengajuan dan penilaian, telah terpilih sekitar tujuh retail regular untuk kategori makanan dan minuman, tiga untuk kategori mode fesyen dan asesoris, dan lima retail reguler untuk kategori convenient store.
“Yang perusahaan besar akan menyewa tempat di 10 stasiun MRT Jakarta. Enam stasiun bawah tanah, dan empat stasiun layang, yaitu Lebak Bulus, Fatmawati, Cipete Raya, dan Blok M,” jelas Agung.
Tak hanya kesempatan bagi perusahaan besar saja yang bisa menyewa, PT MRT Jakarta bekerjasama dengan BEKRAF (Badan Ekonomi Kreatif) juga sepakat untuk menjadikan tiga stasiun layang lainnya, yaitu Sisingamangaraja, Blok A, dan Haji Nawi, dikhususkan untuk produk Usaha Kecil Menengah (UKM) yang akan dikurasi oleh BEKRAF.
“Untuk retail, kita mengedepankan empat bidang retail, yaitu makanan dan minuman, mode fesyen, convenience store, dan ATM atau sejenisnya,” jelas Agung.
Bisnis Periklanan (Advertising)
Area stasiun dan kereta memiliki potensi besar untuk bisnis periklanan, bahkan termasuk di area terowongan. Misalnya di dalam stasiun dari mulai dinding, tangga, elevator, eskalator hingga dinding partisi pembatas area peron dan rel (platform screen doors/PSD), terowongan, maupun di dalam dan badan luar kereta, semua punya potensi pemasukan besar secara finansial.
“Kami sudah tentukan, titik atau lokasi yang kami petakan untuk bisa dipasangi iklan,” jelas Agung.
Hak Penamaan (Naming Rights)
Dari 13 stasiun yang nantinya dioperasikan, PT MRT Jakarta juga telah menetapkan 8 stasiun yang dikomersialkan melalui mekanisme hak penamaan (namingrights). Delapan stasiun tersebut yaitu: 6 stasiun bawah tanah dan 2 stasiun layang (Lebak Bulus dan Blok M).
Pemasukan pendapatan dari bisnis hak penamaan ini sebenarnya telah dilakukan oleh beberapa perusahaan /operator kereta api di luar negeri termasuk yang telah dilakukan oleh PT Railink untuk nama stasiun KA Bandara Sudirman Baru yang hak penamaannya bekerjasama dengan salah satu perbankan nasional.
“Salah satu persyaratannya, perusahaan besar yang bonafide dan memiliki kantor di sekitar stasiun yang diperbolehkan mengikuti, dengan masa kontrak selama 10 tahun,” jelas Agung.
Telekomunikasi
Telekomunikasi merupakan kebutuhan banyak orang agar aktivitas komunikasi melalui perangkat selular maupun kegiatan berselancar melalui dunia maya bisa terus dilakukan dimanapun, termasuk di area stasiun bawah tanah atau selama perjalanan naik kereta MRT Jakarta. Potensi ini juga menjadi salah satu pemasukan bagi PT MRT Jakarta dalam kerjasama penyediaan fasilitas telekomunikasi yang akan memudahkan pengguna MRT tetap bisa menikmati akses internet.
Pengelolaan Properti
Penugasan kepada PT MRT Jakarta, tertuang dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 53 Tahun 2017 tentang Penugasan PT MRT Jakarta Untuk Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana MRT dan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 140 Tahun 2017 tentang Penugasan PT MRT Jakarta Sebagai Operator Utama Pengelola Kawasan TOD. Berlandaskan payung hukum Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 140 Tahun 2017 inilah, PT MRT Jakarta diberikan kewenangan dalam pengelolaan kawasan TOD (transit oriented development) atau KBT (kawasan berorientasi transit).
Menurut Agung, pengertian TOD bukan rumah susun samping stasiun atau rumah nempel stasiun. Namun TOD harus dijabarkan sebagai pengelolaan area perkotaan yang dirancang untuk memadukan fungsi transit dengan manusia, kegiatan, bangunan dan ruang publik. Pengelolaan kawasan berorientasi transit harus bisa meningkatkan nilai (value added) suatu tempat di sekitar kawasan stasiun. Nilai tersebut diperoleh ketika kawasan sekitar stasiun dilakukan penataan ruang yang mengakomodir jalur pedestrian yang nyaman bagi semua kalangan dan menghubungkan seluruh kawasan dengan stasiun; tersedianya ruang terbuka hijau; area publik, peningkatan kualitas fisik kampung kota di sekitar kawasan stasiun melalui revitalisasi permukiman rakyat maupun konsolidasi lahan; serta optimasi tata guna dan nilai guna lahan eksisting.
Rencana KBT yang akan dikelola oleh PT MRT Jakarta meliputi 8 kawasan di Stasiun MRT yaitu: Lebak Bulus, Blok M, Senayan, Istora, Bendungan Hilir, Setiabudi, Dukuh Atas dan Bundaran HI.
Itulah upaya-upaya yang dilakukan PT MRT Jakarta dalam strategi pengembangan usaha yang hasilnya diharapkan akan menopang keberlangsungan bisnis transportasi MRT sehingga menjadi perusahaan BUMD yang mandiri, berkembang dan membawa perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan dalam bertransportasi publik.
AMAD SUDARSIH
Berita Lainnya