Berita

Berita

'Kecanduan Mobil,' Tantangan Infrastruktur Indonesia yang Sebenarnya

10 Juni 2019

Oleh: Aichiro Suryo Prabowo

 

Jika kebijakan infrastruktur adalah kebijakan utama kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), maka jalan adalah ciri khas kampanye pemilihan ulangnya. Dia mengklaim telah membangun ratusan kilometer jalan, termasuk 600 kilometer jaringan Trans-Jawa yang telah lama tertunda. Ini akhirnya menghubungkan pulau Indonesia yang paling berpenghuni itu dari ujung ke ujung, dan lebih dari 1.000 kilometer jalan perbatasan di pinggiran negara kepulauan ini.

 

Proyek jalan tol yang mangkrak di bawah pemerintahan sebelumnya—seperti Becakayu di Jakarta dan Bocimi di Jawa Barat—juga telah dimulai kembali dan diselesaikan oleh Jokowi. Keberhasilan-keberhasilan ini menegaskan reputasinya sebagai presiden yang bekerja untuk memberikan hasil, dan konsisten dengan slogan kampanyenya selama kampanye presiden masa jabatan pertamanya: “kerja, kerja, kerja.”

 

Saya harus mengakui bahwa saya adalah salah satu penerima manfaat langsung dari penggerak infrastrukturJokowi. Bepergian dengan mobil dari kota asal saya Yogyakarta ke Jakarta biasanya memakan waktu sekitar 12 jam—sekarang hanya membutuhkan waktu 9 jam, atau kurang. Efisiensi waktu seperti itu diharapkan mengingat peningkatan anggaran yang signifikan yang telah diberikan Jokowi untuk pembangunan infrastruktur.

 

Dari tahun 2010-2014, anggaran infrastruktur rata-rata hanya di bawah Rp150 triliun setiap tahun. Pada tahun 2015, ia mengalokasikan Rp256 triliun dan secara bertahap meningkatkannya menjadi Rp415 triliun pada tahun 2019.

 

Jalan, khususnya, mengambil banyak alokasi anggaran infrastruktur: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan, misalnya, telah mengalokasikan lebih dari sepertiga dari anggaran tahunannya untuk penyediaan dan pengelolaan jalan. Jokowi juga memanfaatkan perusahaan milik negara untuk mengambil sebagian besar proyek infrastruktur, yang memasok anggaran tambahan untuk investasi jalan.

 

Semua upaya ini adalah demi pembangunan Indonesia: memiliki lebih banyak jalan meningkatkan mobilitas barang dan orang, menciptakan akses pasar, dan mendorong kegiatan bisnis; studi telah mengonfirmasi korelasi positif antara infrastruktur fisik dan pertumbuhan ekonomi.

 

Namun, untuk beberapa provinsi paling maju di Indonesia, memiliki lebih banyak jalan mungkin memiliki konsekuensi negatif. Di tempat-tempat seperti Jakarta, Bali, dan Yogyakarta, jalan sudah padat dan kemacetan lalu lintas mengakibatkan inefisiensi bagi ekonomi. Sementara itu, keinginan untuk memiliki mobil semakin meningkat, terutama di kalangan kelas menengah.

 

Oleh karena itu, kemauan politik yang kuat dan kebijakan yang efektif di tingkat nasional diperlukan untuk mengatasi masalah ini: alih-alih hanya memperluas jalan, mungkin sudah waktunya bagi pemerintah untuk juga memikirkan cara untuk membatasi jumlah mobil.

 

KELAS MENENGAH INDONESIA DAN MOBIL MEREKA

Jumlah mobil di Indonesia telah meningkat secara signifikan selama dua dekade terakhir. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), hanya ada 2,6 juta mobil pada tahun 1997. Jumlah ini meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 6,8 juta pada tahun 2007, dan mencapai 15,4 juta pada tahun 2017. Mobil-mobil ini sebagian besar ditemukan di provinsi Jawa, di mana Jabodetabek (3,8 juta), Jawa Barat (1,5 juta), dan Jawa Timur (1,4 juta) berada di urutan tiga besar. Di luar Jawa, jumlah mobil terbanyak ditemukan di Sumatra Selatan (915.000) dan Bali (878.000).

 

Industri otomotif pasti menikmati pemerintahan Jokowi. Ketika dia mulai menjabat pada akhir tahun 2014, penjualan mobil sekitar 1,2 juta per tahun. Penjualan tahunan turun pada tahun 2015 menjadi 1,01 juta unit, tetapi sejak itu trennya relatif stabil dengan kenaikan tahunan kecil: pada tahun 2016, 2017, dan 2018, penjualan tahunan masing-masing 1,06 juta, 1,07 juta, dan 1,15 juta.

 

Namun, angka-angka ini semuanya di atas rata-rata penjualan tahunan selama dekade terakhir—fakta yang menguntungkan kelompok industri mobil. Baru-baru ini, Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), Yohannes Nangoi, menyebut Jokowi sebagai presiden “yang paling memperhatikan mobil”, mengingat banyaknya pembangunan fasilitas umum pro-mobil, seperti jalan raya dan jalan tol.

 

Dua faktor dapat menjelaskan semakin meningkatnya keberadaan mobil di Indonesia. Pertama, orang Indonesia cenderung melihat status sosial mereka sebagaimana didefinisikan oleh kepemilikan mobil. Pada tahun 2014, survei global oleh Nielsen menemukan bahwa di antara para pemilik mobil Indonesia, 67 persen responden menganggap kepemilikan mobil sebagai simbol kesuksesan yang penting, jauh lebih tinggi daripada rata-rata global sebesar 52 persen. Sementara itu, 93 persen pemilik non-mobil Indonesia menganggap kurangnya mobil sebagai sumber rasa malu, tingkat yang jauh lebih tinggi daripada kurang dari 50 persen rata-rata negara lain yang disurvei.

 

Kedua, orang membeli mobil karena alasan pragmatis, terkait dengan keterjangkauan dan fungsionalitas. Toyota Avanza—salah satu kendaraan multiguna terlaris di pasaran—memiliki kisaran harga antara Rp180-230 juta—harga yang bagus untuk mereka yang berada dalam kelompok berpenghasilan menengah. Mereka mampu membeli Avanza secara kredit, dengan uang muka 15 persen plus masa cicilan yang panjang hingga 5 tahun, yang menghasilkan pembayaran bulanan kurang dari Rp5 juta.

 

Harga bensin juga relatif murah. Walau harga rata-rata global bensin adalah US$1,13 per liter, namun harga di Indonesia hanya US$0,70, lebih murah dari Vietnam (US$0,87), Thailand (US$1,12), dan Singapura (US$1,57). Meskipun kebijakan harga bahan bakar mengambang bebas (free floating) diperkenalkan pada awal kepresidenan Jokowi, namun hingga saat ini, keputusan penentuan harga untuk bensin tetap bermotif politik.

 

Tahun lalu, pemerintah tiba-tiba membatalkan kenaikan harga bahan bakar “Premium” bersubsidi, hanya beberapa saat setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengumumkan rencana tersebut.

 

Pajak dan biaya terkait kendaraan juga ditetapkan pada tingkat yang tidak merugikan pemilik mobil. Akibatnya, hanya ada sedikit hambatan moneter untuk menghalangi orang membeli mobil. Dengan sistem transportasi umum yang tidak dapat diandalkan di sebagian besar provinsi—di mana jadwal tidak jelas dan rute terputus—menggunakan mobil telah menjadi pilihan yang masuk akal bagi kelas menengah Indonesia.

 

MOBIL DAN KEMACETAN

Masalah dengan mobil—jika dibandingkan dengan moda transportasi lain—adalah seberapa banyak ruang jalan yang mereka tempati. Foto yang dibagikan secara luas menunjukkan perbedaan dalam jumlah ruang fisik yang diambil oleh 69 orang ketika mereka memilih opsi transportasi yang mencakup mobil mereka sendiri, bus umum, atau sepeda.

 

Keputusan seseorang untuk memiliki mobil dapat mengamankan ruang pribadi, tetapi dengan mengorbankan ruang publik—ini pada dasarnya adalah eksternalitas negatif. Biaya sosial bahkan lebih besar ketika faktor-faktor kesehatan dipertimbangkan, seperti yang terlihat pada harapan hidup masyarakat yang tinggal di Jakarta yang semakin buruk sebagai akibat dari polusi udara Jakarta.

 

Sebanyak 3,8 juta mobil yang memadati kemacetan di jalan-jalan Jakarta, telah menciptakan salah satu lalu lintas terburuk di dunia, yang Jokowi sendiri akui menarik biaya besar bagi perekonomian. Tetapi dengan melihat lebih dekat pada data, kita melihat bahwa provinsi-provinsi Indonesia lainnya tampaknya mengikuti lintasan pembangunan yang sama.

 

Tabel di bawah ini memberikan perbandingan (rasio) jumlah mobil (unit) dengan panjang jalan (km) di 10 provinsi di Indonesia. Semakin besar rasionya, semakin banyak mobil yang menempati jalan. Jakarta memiliki tingkat mengejutkan sebanyak 545,5 unit mobil per kilometer jalan. Bali (99,9) dan Yogyakarta (65,5) berada di urutan kedua dan ketiga.

 

Sumber: Berdasarkan analisis dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan dan Badan Pusat Statistik. (via New Mandala)

 

Lalu lintas di provinsi-provinsi teratas mungkin tidak semuanya persis seperti Jakarta. Namun, orang masih akan menemukan jalan-jalan mereka sama macetnya selama jam-jam sibuk. Di Yogyakarta, misalnya, waktu tunggu di persimpangan di sepanjang bagian utara Ring Road sering tak ada habisnya seperti di persimpangan utama di Jakarta, seperti Pancoran dan Ragunan.

 

KEBIJAKAN JOKOWI: PRO-INFRASTRUKTUR = PRO-MOBIL?

Ketika menyangkut masalah kemacetan, respons umum pemerintah adalah membangun lebih banyak jalan. Di Jakarta, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan menugaskan pembangunan 6 ruas jalan tol yang akan menghubungkan rute sibuk, termasuk Sunter-Pulo Gebang-Tambelang, Kemayoran-Kampung Melayu, dan Pasar Minggu-Kasablanka. Di Yogyakarta, pemerintah akhirnya bertindak berdasarkan pertimbangan lama mengenai pembangunan jalan bawah tanah dan sedang dalam proses membangunnya sekarang.

 

Jokowi harus memahami, bagaimanapun, bahwa membangun jalan hanya akan mengatasi sisi ketersediaan infrastruktur jalan. Dengan pengalaman sebelumnya sebagai pemimpin lokal (ditunjukkan oleh 2 tahun menjabat sebagai Gubernur Jakarta dan 7 tahun sebagai Wali Kota Solo), ia harus tahu bahwa sisi permintaan—yang sebagian besar berasal dari kepemilikan mobil—juga perlu ditangani. Dengan kata lain, membangun jalan adalah solusi parsial. Jika pemerintah tidak membatasi jumlah mobil, maka kehadiran mereka akan tumbuh tak terkendali.

 

Sayangnya, tidak ada kebijakan nasional utama yang dilakukan untuk membatasi—apalagi mengurangi—jumlah mobil di Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi. Beberapa kebijakan tampaknya berjalan ke arah yang salah: pemerintah telah membahas tentang membuat mobil lebih murah, seperti yang terlihat oleh usulan Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto untuk memangkas penjualan pajak sedan domestik pada tahun lalu, dan rencana Menteri Keuangan Sri Mulyani baru-baru ini untuk menghapuskan pajak pada mobil listrik.

 

Di bawah pengawasan Jokowi, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan yang memungkinkan pembayaran uang muka untuk membeli mobil baru secara kredit serendah 0 persen. Semua ini berpotensi mendorong, bukannya mengurangi, keberadaan mobil di jalan.

 

Manajemen lalu lintas, serta pengumpulan pajak dan retribusi terkait kendaraan, adalah domain otoritas lokal, bukan pemerintah pusat, tetapi bukan berarti pemerintah pusat tidak dapat terlibat. Peraturan nasional masih bisa efektif dalam membawa perubahan di tingkat lokal. Misalnya, pemerintah pusat dapat menetapkan pedoman nasional tentang pajak dan biaya lokal yang kompetitif untuk memiliki dan menggunakan mobil di daerah padat, dan mengalokasikan pendapatan lokal dari pajak kendaraan atau biaya parkir untuk investasi dalam sistem transportasi umum.

 

TANTANGAN EKONOMI POLITIK

Analisis ini bukannya mengatakan bahwa mobil itu buruk. Tapi sama seperti barang-barang lainnya, barang-barang itu bagus sampai titik tertentu, jika melebihi, ada keuntungan yang semakin berkurang. Mobil mungkin bermanfaat bagi petani yang tinggal di daerah pedesaan atau keluarga yang tinggal di provinsi yang jauh, tetapi di daerah perkotaan mereka bermasalah.

 

Dengan mengingat hal itu, tindakan pemerintah seharusnya tidak ditujukan untuk menghilangkan mobil dari pasar, tetapi lebih pada memastikan bahwa jumlah mobil tepat. Masalah dari memiliki terlalu banyak mobil terbukti di Jakarta, dan akan meluas ke provinsi lain dalam beberapa tahun ke depan. Seiring ekonomi Indonesia tumbuh, kelas menengah semakin bertambah dengan daya belinya, dan meningkatkan keinginan terhadap status sosial yaitu kepemilikan mobil.

 

Terlepas dari mekanisme yang jelas dan kemungkinan solusi, tidak ada politisi atau pembuat kebijakan yang tampaknya mau menyoroti masalah ini, setidaknya sejauh ini. Mungkin hambatan ekonomi politik terlalu signifikan.

 

Pertama adalah bahwa industri otomotif menciptakan lapangan kerja. Industri otomotif—yang menyumbang 10 persen dari PDB Indonesia—telah menciptakan 350.000 lapangan pekerjaan (yaitu pekerja yang terkait dengan produksi mobil) ditambah 1,2 juta pekerjaan secara tidak langsung, menurut Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto.

 

Kedua, pajak dan retribusi terkait kendaraan telah menjadi arus pendapatan utama bagi beberapa pemerintah provinsi. Salah satunya adalah biaya transfer kepemilikan kendaraan (BBNKB), tidak hanya dari mobil, yang telah menyumbang lebih dari 30 persen dari pendapatan daerah di Kepulauan Riau, Jawa Timur, Bali, Banten, dan Sulawesi Tenggara.

 

Terakhir, dan mungkin yang paling penting, meningkatkan harga mobil hanya akan melukai kelas menengah, yang mungkin membebani suara para politisi.

 

Banyak orang mengatakan bahwa ‘politik kelas’ tidak ada di Indonesia, tetapi dapat dilihat dalam keputusan kebijakan yang sesuai dengan kepentingan kelas menengah Indonesia. Kebijakan Jokowi tentang infrastruktur mobil dan jalan adalah kebijakan yang mendukung kelas menengah itu, yang secara bersamaan menuntut lebih banyak mobil dan lebih sedikit ruang di jalan.

 

Tidak jelas apakah masyarakat memahami perlunya pertukaran (lebih sedikit mobil dan lebih banyak ruang di jalan), kecuali ada politisi, pembuat kebijakan, atau presiden yang berani mengatakan kepada mereka bahwa mereka tidak dapat memiliki keduanya—yang menimbulkan pertanyaan: apakah ada orang seperti itu?***

 

Aichiro Suryo Prabowo adalah seorang analis kebijakan publik yang saat ini mengajar di Universitas Indonesia. Aichiro memiliki gelar master untuk kebijakan publik dari University of Chicago, dan telah bekerja sebagai konsultan di Asia Competitiveness Institute, Economist Intelligence Unit dan Bank Dunia di Jakarta. Kolom opininya telah diterbitkan oleh Jakarta Post dan Huffington Post.



Berita Lainnya