Charlie Chaplin disebut Jokowi dalam cuitannya, Sabtu (19/1), saat meresmikan pengaktifan kembali jalur Cibatu-Garut. Cerita tentang Chaplin itu memang sangat melegenda. Kedatangannya untuk membuktikan cerita mulut ke mulut tentang Garut yang keindahannya membelalakkan mata orang Eropa.
Kenapa Namanya Garut?
Setiap kota di Indonesia memiliki cerita yang unik. Baik dari segi perkembangan fisik maupun masyarakatnya. Termasuk, Garut, Jawa Barat.
Secara historis, Garut merupakan bagian dari wilayah yang disebut Belanda sebagai 'Preanger'. Sebutan yang kemudian lebih dikenal dengan istilah 'Priangan' yang berarti wilayah bergunung-gunung.
Di masa kolonial, Preanger mencakup Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Sumedang, Cimahi, Bandung, Cianjur, Sukabumi, dan Bogor. Kebanyakan penduduknya, berprofesi sebagai petani.
Kunto Sofianto dalam bukunya Garoet Kota Intan (2001) menulis, awal mula nama Garut muncul pada 16 Februari 1813. Saat itu, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Thomas Stamford Raffles menerbitkan surat keputusan mengenai pembentukan Kabupaten Limbangan. Ibu kota Limbangan saat itu bukan Garut, melainkan Suci.
Namun, karena Suci terlalu sempit, Bupati Limbangan kala itu, Adipati Adiwijaya membentuk tim guna mencari tempat cocok sebagai ibu kota kabupaten. Di pencarian pertama, tim pencari menemukan wilayah Cimurah yang berupa dataran berjarak 3 km sebelah timur Suci.
Karena di lokasi itu air bersih sulit diperoleh, maka tak jadi dipilih. Tim pun mencari ke arah barat sejauh lima kilometer dan menemukan mata air yang jernih. Alirannya mengular ke Sungai Cimanuk dengan pemandangan yang indah. Lokasi itu dikelilingi gunung-gunung seperti Cikuray, Papandayan, Guntur, dan Karacak. Ada juga sebuah kawah bernama Talaga Bodas.
"Saat itu panitia menemukan mata air telaga kecil yang tertutup semak belukar berduri (marantha). Salah seorang panitia pribumi ada yang kakarut (bahasa Sunda tergores, -red) tangannya hingga berdarah," tulis Kunto dalam bukunya yang dikutip kumparan, Selasa (22/1).
Seorang Belanda yang turut dalam rombongan kemudian bertanya ke si pribumi yang tangannya berdarah itu. Dia pun menjawab 'kakarut'. Si Belanda yang lidahnya tidak fasih mengucap kata bahasa Sunda, mencoba meniru. Namun, yang terlontar malah 'gagarut'.
Sejak itulah, tanaman belukar tersebut dinamakan “ci garut” yang menginspirasi panitia untuk menamakan wilayah indah itu dengan sebutan Garut. Saat menerima laporan dari tim pencari, Bupati Adiwijaya setuju menjadikan Garut sebagai ibu kota Kabupaten Limbangan.
"Pada tanggal 1 Juli 1913, berdasarkan surat keputusan Gubernur Jenderal 7 Mei 1913 No. 60, nama Kabupaten Limbangan diganti menjadi Kabupaten Garut," tulis Kunto.
Setelah itu, Garut kemudian berganti bentuk. Dari yang tadinya linear menjadi konsentris. Berbagai fasilitas kota pun mulai dibangun. Antara lain, stasiun kereta api, kantor pos, apotek, sekolah, dan hotel.
Sebenarnya, jalur kereta api yang menghubungkan Bogor, Sukabumi, Bandung, Banjar, hingga Pangandaran sudah dibangun bertahap sebelumnya. Ibnu Murti, sejarawan Universitas Indonesia yang mendalami perkeretaapian menyebut, jalur yang dibuka tahun 1884-1894 itu, ditujukan sebagai fasilitas wisata bagi orang-orang Eropa.
Cerita tentang Garut yang terdiri dari kebun-kebun teh dan sungai yang mengalir bersih kemudian bergema sampai mancanegara. Bermula dari mulut orang-orang Eropa seperti Belanda, Inggris, Italia, dan Jerman. Mereka membuka perkebunan di wilayah Cilawu, Cisurupan, Pakenjeng, Cikajang, Cisompet, Cikelet, dan Pamengpeuk pada periode 1900-1928.
Pembangunan perkebunan itu diikuti dengan pembangunan hotel di daerah Garut mulai tahun 1917. Beberapa di antaranya, Hotel Papandayan, Belvedere, Vila Dolce, Van Hengel, dan yang juga melegenda Hotel Ngamplang di Cilawu.
"Ketika para pekerja itu pulang ke negaranya masing-masing, berceritalah mereka soal keindahan pemandangan Garut. Sehingga pada masa itu wisatawan yang datang ke Garut khususnya dari Eropa terus meningkat," kata pemerhati sejarah lokal Jawa Barat, Irfan Maulana, saat berbincang dengan kumparan, Senin (21/1).
Tempat-tempat seperti Kawah Papandayan, Kawah Kamojang, Kawah Manuk, Kawah Talaga Bodas, Situ Bagendit, Situ Cangkuang, Gunung Cikuray, Gunung Guntur, dan Pantai Pamengpeuk menjadi daya tarik wisata di Garut bagi orang Eropa. Mereka ingin menikmati hijaunya alam yang tak didapat di Eropa sana.
Bukan cuma alamnya yang jadi daya tarik bari orang Eropa. Tapi juga satwa yang hidup di dalamnya. Periode 1920-1930-an, masih banyak ditemukan macan loreng, macan kumbang, badak, banteng, babi hutan, burung merpati liar, anjing hutan, dan buaya sekitar 20 mil ke arah selatan Garut. Para wisatawan pun diperbolehkan untuk memburu hewan-hewan tersebut.
Satu lagi yang menjadi penarik wisatawan adalah tradisi 'adu domba'. Tradisi mengadu dua ekor domba ini merupakan hal yang unik bagi para wisatawan.
"Selain karena keindahan Garut, komedian asal Inggris, Charlie Chaplin, datang ke Garut juga karena adanya tradisi adu domba," ungkap Irfan.
Charlie Chaplin Menuju Garut
Nama komedian Charlie Chaplin sudah mendunia di awal abad 20. Ia memulai kariernya di panggung hiburan dunia sejak tahun 1899 dengan beberapa judul film komedi.
Termasuk juga di Hindia Belanda, film-film Charlie Chaplin juga menghiasi bioskop-bioskop di Batavia dan Preanger. Orang-orang Belanda dan pejabat pribumi yang mengekornya tak segan untuk mengantre di bioskop untuk menonton akting Chaplin.
Tapi ternyata, Chaplin pun mengagumi Hindia-Belanda. Tepatnya, salah satu wilayahnya, yakni Garut. Chaplin mendengar nama Garut dari temannya yang bekerja di perkebunan daerah Pamengpeuk.
Chaplin pun dikabarkan mengunjungi Garut dua kali, pada tahun 1932 dan 1936. Alasan ia mengunjungi Garut hingga dua kali, karena hatinya sudah terpaut dengan keindahan alam Garut.
Perjalanan pertama Charlie Chaplin ke Garut dimulai pada 27 Maret 1932 menggunakan jalur udara. Berdasarkan catatan surat kabar 'Indische Courant' yang terbit 29 Maret 1932, Chaplin lebih dulu terbang ke Singapura. Dari sana, dia melanjutkan perjalanan ke Hindia-Belanda dengan kapal Suwa Maru.
"Kunjungan utamanya ke Bali, tapi ia penasaran dengan Garut," kata Ibnu Murti kepada kumparan, Senin (22/1).
Sebelum mampir ke Garut, Chaplin menuju Batavia. Tak tercatat di surat kabar tersebut, berapa lama perjalanan pelayaran Charlie Chaplin dari Singapura ke Pelabuhan Tanjung Priok. Tetapi, ia sampai di hari yang sama.
Sesampainya di Batavia, Chaplin tidak bisa menyembunyikan kelelahannya. Ia beristirahat sebentar di pelabuhan sambil menikmati beberapa kudapan. Karena bukan kunjungan kenegaraan, kehadiran Chaplin tidak dijemput perwakilan pemerintah Hindia-Belanda.
Setelah kurang lebih dua jam beristirahat, Chaplin bersiap melanjutkan perjalanannya menuju Garut. Dia naik kereta api dari Stasiun Gambir, melewati jalur Cibatu.
Di sepanjang perjalanan, Chaplin yang ditemani istrinya, Paulette Godard, tak banyak berkata-kata. Khususnya, saat ia melintasi jalur Cibatu yang terdapat beberapa gunung dengan pemandangan hijau lainnya.
Sangat indah memang, seperti yang digambarkan dalam roman sejarah berjudul 'Gadis Garut Abad XX' karya Ali Assegaff.
“Apabila seseorang naik kereta dan memasuki wilayah Banjar, stasiun pertama di Priangan, mereka akan melihat dataran yang luas, yang diliputi hamparan hijau, dikelilingi bukit tinggi. Bukit itu ditutupi rerumputan yang dapat menenangkan. hati dan menghilangkan kegundahan”.
Kereta api bergerak naik ke kaki-kaki perbukitan yang hijau sampai puncak-puncaknya. Pemandangan itu semakin terlihat jelas dengan warna yang ditemui dan dengan tampilan yang sangat memesona.
Apalagi, para penumpang yang naik di Stasiun Cibatu juga sangat tertib. Mereka pun sopan dan santun terhadap teman duduknya. Irfan Maulana menyebut, para penumpang juga sangat menghormati siapapun yang berbicara dengan mereka.
Setelah tujuh setengah jam menikmati perjalanan dari Batavia, sampailah Charlie Chaplin di Stasiun Garut. Di sana, sudah berjubel orang-orang bumiputera yang tak sabar ingin menyambutnya.
Memang tak ada pejabat, tetapi kehangatan orang-orang itu berhasil membuat Charlie Chaplin makin terkesima dengan Garut. Dia menyapa orang-orang itu, sambil sesekali menjabat tangan mereka.
Charlie Chaplin tak begitu lama di stasiun. Setelahnya, dia bergegas menuju Hotel Ngamplang.
Tak banyak catatan sejarah lainnya yang menyebutkan detail liburan Charlie Chaplin di Garut. Namun, diinformasikan bahwa Charlie Chaplin tak sampai dua hari di sana.
Ibnu Murti mengatakan, dalam surat kabar 'Indische Courant', Charlie Chaplin sempat menyaksikan tradisi adu domba. Ia begitu menikmati pertunjukan sarat histori itu. Setelah itu, tidak dijelaskan lebih lanjut aktivitas Charlie Chaplin selama di Garut.
Bagi Chaplin, kunjungan ke Garut tahun 1932 itu sangat menyenangkan. Sampai pada akhirnya ia memutuskan kembali ke Garut pada tahun 1936.